Seorang sasterawan
Inggris, Southy, menuliskan tentang pasukan Islam yang menyerbu daratan
Eropa setelah menguasai Andalusia, dia berkata:
'Banyaknya pasukan tidak terhitung jumlahnya, ada yang dari suku Arab Barbar, Rom, Persia, Qibti, Tartar,semua berkumpul di bawah satu panji, disatukan oleh panglima yang agung. Kekuatannya, semangatnya bergelora seperti api dan rasa persaudaraannya begitu mengagumkan, tak membeza-bezakan sesama manusia.
Dalam jiwa pemimpin dan yang dipimpin tertanam tekad yang bulat untuk berjuang. Mereka optimis akan kekuatannya yang tak terkalah, dan yakin bahwa pasukannya tak akan menemukan kesulitan. Optimis bahwa setiap langkah akan diikuti oleh kemenangan. Mereka terus maju dan maju hingga dunia Barat ditakluk pada dunia Timur, tunduk menghormati nama Muhammad saw.
Orang-orang dari kutub yang penuh dengan pegunungan ais yang dingin membeku datang jauh-jauh untuk melaksanakan haji. Melintasi sahara dengan kaki ayam dengan penuh iman, berjalan di gurun pasir yang panas di Arab, berdiri di atas batu-batu di Makkah."
Memang, apa yang dikatakan tidak jauh dari kenyataan. Khayalannya pun tidak meleset. Prajurit yang dipimpin oleh para mujahidin itu memang ingin membebaskan nenek moyang umat manusia dari kegelapan jahiliyah.
Ikut serta dalam pasukan tersebut orang-orang Arab yang perkasa. Allah telah membangkitkan mereka dan membimbing mereka untuk mendatangi kalian dari Syam, Hijaz, Najd, Yaman dan pelosok-pelosok jazirah Arab, menggulung segala sesuatu laksana badai. Mereka disertai pula oleh orang-orang Barbar yang bangga akan keislamannya, yang turun dari pegunungan Atlas, menyapu bagaikan air bah. Juga orang-orang Persia, yang telah terlepas dari belenggu paganisme dan masuk ke dalam agama tauhid, jalan yang lurus. Tak ketinggalan pula orang-orang Rom, mereka keluar dari kezaliman dan kegelapan menuju cahaya terangnya langit dan bumi dan menerima hidayah menuju agama yang suci. Kemudian orang-orang Qibti, yang bebas dari kehambaan dan belenggu yang mencekik leher, beralih kepada kehidupan yang bebas merdeka di bawah panji Islam, kembali suci seperti saat dilahirkan ibunya.
Tepat sekali, memang pasukan pimpinan Abdurrahman Al-Ghafiqi mahupun para penghulunnya datang untuk melepaskan umat manusia dari belenggu jahiliyah. Di antara mereka ada yang berkulit putih, hitam, Arab, dan Ajam (non-Arab). Tapi mereka bersatu dalam Islam. Nikmat Allah menjadikan mereka bersaudara. Semangat mereka seperti yang engkau sebutkan adalah untuk memasukkan orang-orang Eropah ke dalam agama Allah sebagaimana orang-orang di belahan bumi bahagian Timur dan Afrika. Sehingga umat manusia seluruhnya tunduk kepada Allah, pencipta alam semesta.
Dengannya cahaya Islam akan menyinari dataran dan lembah, mataharinya memancar di setiap rumah dan keadilan tegak di antara rakyat dan penguasa. Mereka bertekad mengorbankan nyawa mereka yang berharga untuk membimbing manusia ke jalan Allah dan menyelamatkan dari api neraka.
Kabar tewasnya Utsman bin Abi Nus'ah dan nasib puterinya yang jelita, Minin, mengejutkan Duke Octania. Dia sedar bahwa gendang perang telah ditabuh. Cepat atau lambat singa Islam, Abdurrahman Al-Ghafiqi akan menyerbu saja, tak peduli siang atau malam.
Kaisar Duke Octania segera mempersiapkan diri untuk mempertahankan setiap jengkal wilayahnya. Hanya saja bayang-bayang buruk selalu menghantuinya. Dia khuatir akan menjadi tawanan kaum muslimin seperti puterinya yang kini dikirim ke Syam. Dia takut kepalanya akan dipenggal kemudian ditaruh di atas talam dan diarak keliling kota seperti Loderik, raja Andalusia dahulu.
Dugaan Duke Octania tepat, tiba-tiba Abdurrahman Al-Ghafiqi benar-benar datang bersama pasukan yang luar biasa besarnya, menyerbu dari Spanyol utara bagai gelombang pasang dan turun ke wilayah Prancis selatan dari pegunungan Pyerenees laksana air bah. Prajuritnya mencapai 111 ribu orang dan setiap batalionnya didampingi oleh prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh tinggi besar.
Prajurit Islam masuk melalui kota Arles yang terletak di tepi sungai Rhone. Pertimbangannya adalah kerana kota ini terikat perjanjian damai dengan muslimin dan telah menyetujui kewajiban membayar jizyah. Namun ternyata, setelah gabenor As-Samah bin Malik Al-Khaulani gugur di Toulouse dan kekuatan muslimin menjadi lemah, mereka melanggar perjanjian dan menolak membayar jizyah.
Kedatangan Abdurrahman Al-Ghafiqi dan pasukannya di perbatasan Azil, disambut oleh pasukan besar yang disiapkan oleh Duke Octania untuk menghambat gerak maju pasukan Islam. Dua kekuatan berhadapan. Perang besar tak terelak lagi.
Pasukan pertama yang dikerahkan Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah pasukan khusus yang lebih mencintai mati daripada kecintaan musuh terhadap kehidupan. Mereka berhasil menggoyahkan dan memporak-perandakan barisan musuh. Pertempuran terus bergolak ke dalam kota. Pedang-pedang berlaga kiri-kanan. Pasukan Islam mendapatkan hasil di luar perhitungan.
Namun sayang, Duke Octania berhasil meloloskan diri dari medan beserta sisa-sisa pasukannya. Sehingga dia masih menyimpan kekuatan bersiap-siap pertempuran selanjutnya, sebab dia sedar bahwa pertempuran di Arles baru awal dari suatu perang yang panjang.
Bersama pasukannya, Abdurrahman Al-Ghafiqi menyeberangi sungai Garonne. Kemenangan demi kemenangan mereka raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui pasukannya, seperti daun-daun yang berguguran diterpa angin.
Duke Octania berusaha membendung pasukan Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu pertempuran besar. Namun kali ini pun pasukan Islam mampu mengatasinya. Duke Octania kembali lolos meninggalkan pasukannya yang kucar-kacir. Banyak yang gugur, tidak sedikit yang tertawan dan ada pula yang lari dari medan perang.
Target serangan berikutnya adalah Bordeaux, kota terbesar di Prancis pada waktu itu sekaligus merupakan ibukota Octania. Perang untuk memerebut Bordeaux tak kalah serunya dengan peperangan yang telah lalu. Sistem pertahanannya tentu lebih kokoh. Tapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini dapat direbut oleh pasukan Islam seperti kota-kota lainnya. Para panglima musuh gugur sebagaimana teman-teman yang telah mandahului mereka.
Banyak sekali harta rampasan yang diperoleh dalam perang ini. Tapi yang lebih penting adalah jatuhnya Bordoeaux merupakan kunci pembuka kota-kota penting di Prancis lainnya, seperti Lyon, Besancon dan Sens sehingga posisi pasukan Islam saat itu tinggal seratus batu saja dari Prancis.
Dunia Eropah tersentak mendapati bahwa Prancis Selatan telah takluk di tangan Abdurrahman Al-Ghafiqi dalam waktu beberapa bulan saja. Maka dunia Barat terbuka akan bahaya besar yang menghadang mereka.
Bila tak mampu membendung dengan pedang, hendaknya menahan dengan dadanya. Bila senjata habis hendaknya jalanan ditutup dengan tubuh mereka. Eropa bangkit menyambut seruan itu. Orang-orang berkumpul dari dari segala penjuru dengan membawa apa saja yang dapat digunakan, batu-batu, kayu, duri dan pedang. Mereka bersatu padu di bawah komanda Karel Martel.
Dalam waktu yang bersamaan, pasukan muslim telah tiba di Tours, kota Prancis padat penduduknya dan menyimpan bangunan-bangunan tua yang indah. Kota ini bangga dengan gereja-gereja besarnya yang terindah di seluruh Eropah dan berisi penuh kekayaan yang tak ternilai harganya. Prajurit Islam siap berkorban nyawa untuk merebut kota ini. Dan benar, Tours jatuh di depan mata dan pendengaran Karel Martel.
Akhir bulan Sya'ban 114 H Abdurrahman Al-Ghafiqi bersama pasukannya yang gagah perkasa memasuki kota Poiters. Mereka disambut oleh pasukan besar Eropah yang dipimpin oleh Karel Martel. Perang dahsyat antara kedua pasukan itu tidak hanya tercatat dalam sejarah Islam dan Barat saja, melainkan juga dalam sejarah umat manusia. Pertempuran itu dikenal dengan nama Balath syuhada, kerana banyaknya prajurit Islam yang syahid.
Ketika pasukan Islam benar-benar dalam puncak kejayaan yang gemilang. Namun sayang, punggung-punggung mereka terlalu berat memikul hasil rampasan yang melimpah ruah. Abdurrahman Al-Ghafiqi menyaksikan itu dengan sedih dan khuatir. Beliau khuatir keadaan pasukan. Bagaimana boleh tenang sementara hati dan pikiran para prajuritnya mulai beralih kepada harta benda itu? Di saat-saat menentukan justru jiwa mereka terbagi, sebelah mata memandang musuh dan sebelah lagi melirik harta-harta rampasan.
Ingin sekali Abdurrahman Al-Ghafiqi menganjurkan pasukannya untuk melepaskan diri dari harta rampasan yang bertumpuk-tumpuk itu. Tapi mereka sangsi apakah mereka boleh menerima keputusan itu dengan senang hati. Maka tak ada jalan lain kecuali beliau harus mengumpulkan seluruh harta rampasan lalu diletakkan di belakang markas sebelum perang bergolak.
Dua pasukan yang sama besarnya mengambil posisi berhadapan. Beberapa hari suasana terasa tegang. Diam dan penuh selidik, seperti dua gunung besar. Masing-masing mengukur kekuatan lawan dan berpikir seribu kali untuk memilih saat yang tepat untuk menyerang.
Waktu demi waktu berlalu, Abdurrahman Al-Ghafiqi melihat semangat pasukannya mulai menyala.Maka beliau memutuskan agar pasukan Islam lebih dahulu menyerang.
Abdurrahman Al-Ghafiqi mulai menembusi pertahanan Barat dengan pasukannya laksana singa yang menerjang dengan ganas. Pihak Barat bertahan seperti benteng yang kukuh. Pertempuran bergelok sehari penuh dan belum terlihat tanda-tanda kemenangan pada salah satu pihak. Seandainya tak terhalang oleh gelapnya malam, nescaya mereka tak akan berhenti bertempur.
Memasuki hari kedua, pertempuran kembali berkobar. Pasukan Islam menyerang dengan gagah berani dan tekad yang kuat, namun pertahanan Barat belum pula tergugat.
Perang berlangsung hingga tujuh hari berturut-turut dengan dahsyat. Pada hari kedelapan, sedikit demi sedikit barisan musuh mulai terkoyak. Harapan menangpun mulai terbayang. Laksana pancaran cahaya fajar di pagi hari. Namun dalam waktu yang sama, sekelompok prajurit Barat menyerang tempat penyimpanan harta rampasan dan menguasai hampir seluruhnya dengan mudah. Melihat hal itu, pasukan Islam mulai goyah. Sebagian besar dari mereka mundur ke belakang untuk menyelamatkan harta rampasan tersebut hingga merosakkan pertahanan barisan depan.
Dengan gigih panglima besar Abdurrahman Al-Ghafiqi berusaha mencegah para prajuritnya surut ke belakang, sambil terus menahan arus serangan dari depan dan menutupi celah-celah yang lemah. Dia bergerak cepat kesana kemari dengan kudanya yang perkasa. Di saat itulah sebatang panah mengenai tubuhnya sehingga dia terjatuh dari kuda seperti seekor helang yang terjatuh dari puncak gunung. Maka terwujudlah syahid di medan perang yang didambakannya.
Akan halnya dengan pasukan Islam, melihat panglimanya gugur, mereka semakin berantakan, sedangkan musuh kian bersemangat mara ke depan. Tak ada yang mampu menghentikan keganasan mereka selain malam yang mulai merayap.
Pagi harinya Karel Martel mendapati pasukan Islam sudah mundur dari medan perang Poiters. Namun dia tidak berani mengejar. Padahal seandainya dia mengejarnya pastilah dia akan berhasil menghancurkan pasukan muslimin. Dia mengira bahwa gerakan mundur pasukan Islam disengaja untuk memancing mereka ke luar medan terbuka. Ia mengira itu merupakan strategi baru muslimin yang direncanakan malam sebelumnya. Maka Karel Martel memilih untuk tetap di tempat dan merasa cukup dengan membendung kekuatan yang membahayakan itu, lalu menikmati kemenangan yang diraihnya.
Balath Syuhada menjadi peristiwa dalam sejarah. Di hari itu kaum muslimin telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang terbuka lebar, bahkan kehilangan seorang pemimpin besar dan pahlawan yang agung bernama Abdurrahman Al-Ghafiqi. Peristiwa itu laksana ulangan tragedi Uhud yang memilukan.
Begitulah, semuanya telah menjadi sunnatullah terhadap hamba-hamba-Nya, tak ada yang kuasa merubah atau menggantinya.
Kabar kekalahan di Balath Syuhada menjadi tamparan yang menggoncangkan kaum muslimin di segenap pelosok. Duka dan pilu melanda setiap desa dan kota, memasuki setiap rumah Islam. Luka itu hingga kini masih terasa pedihnya, dan akan tetap diingat selagi masih ada seorang muslim yang ada di permukaan bumi ini. Tapi jangan Anda sangka tragedi itu hanya menyedihkan kaum muslimin saja. Orang-orang Barat yang berakal sehat pun merasakan demikian. Bagi mereka, kemenangan nenek moyang mereka atas kaum muslimin di Poitiers merupakan musibah besar bagi umat manusia, khususnya merugikan Eropa dalam mencapai kemajuan.
'Banyaknya pasukan tidak terhitung jumlahnya, ada yang dari suku Arab Barbar, Rom, Persia, Qibti, Tartar,semua berkumpul di bawah satu panji, disatukan oleh panglima yang agung. Kekuatannya, semangatnya bergelora seperti api dan rasa persaudaraannya begitu mengagumkan, tak membeza-bezakan sesama manusia.
Dalam jiwa pemimpin dan yang dipimpin tertanam tekad yang bulat untuk berjuang. Mereka optimis akan kekuatannya yang tak terkalah, dan yakin bahwa pasukannya tak akan menemukan kesulitan. Optimis bahwa setiap langkah akan diikuti oleh kemenangan. Mereka terus maju dan maju hingga dunia Barat ditakluk pada dunia Timur, tunduk menghormati nama Muhammad saw.
Orang-orang dari kutub yang penuh dengan pegunungan ais yang dingin membeku datang jauh-jauh untuk melaksanakan haji. Melintasi sahara dengan kaki ayam dengan penuh iman, berjalan di gurun pasir yang panas di Arab, berdiri di atas batu-batu di Makkah."
Memang, apa yang dikatakan tidak jauh dari kenyataan. Khayalannya pun tidak meleset. Prajurit yang dipimpin oleh para mujahidin itu memang ingin membebaskan nenek moyang umat manusia dari kegelapan jahiliyah.
Ikut serta dalam pasukan tersebut orang-orang Arab yang perkasa. Allah telah membangkitkan mereka dan membimbing mereka untuk mendatangi kalian dari Syam, Hijaz, Najd, Yaman dan pelosok-pelosok jazirah Arab, menggulung segala sesuatu laksana badai. Mereka disertai pula oleh orang-orang Barbar yang bangga akan keislamannya, yang turun dari pegunungan Atlas, menyapu bagaikan air bah. Juga orang-orang Persia, yang telah terlepas dari belenggu paganisme dan masuk ke dalam agama tauhid, jalan yang lurus. Tak ketinggalan pula orang-orang Rom, mereka keluar dari kezaliman dan kegelapan menuju cahaya terangnya langit dan bumi dan menerima hidayah menuju agama yang suci. Kemudian orang-orang Qibti, yang bebas dari kehambaan dan belenggu yang mencekik leher, beralih kepada kehidupan yang bebas merdeka di bawah panji Islam, kembali suci seperti saat dilahirkan ibunya.
Tepat sekali, memang pasukan pimpinan Abdurrahman Al-Ghafiqi mahupun para penghulunnya datang untuk melepaskan umat manusia dari belenggu jahiliyah. Di antara mereka ada yang berkulit putih, hitam, Arab, dan Ajam (non-Arab). Tapi mereka bersatu dalam Islam. Nikmat Allah menjadikan mereka bersaudara. Semangat mereka seperti yang engkau sebutkan adalah untuk memasukkan orang-orang Eropah ke dalam agama Allah sebagaimana orang-orang di belahan bumi bahagian Timur dan Afrika. Sehingga umat manusia seluruhnya tunduk kepada Allah, pencipta alam semesta.
Dengannya cahaya Islam akan menyinari dataran dan lembah, mataharinya memancar di setiap rumah dan keadilan tegak di antara rakyat dan penguasa. Mereka bertekad mengorbankan nyawa mereka yang berharga untuk membimbing manusia ke jalan Allah dan menyelamatkan dari api neraka.
Kabar tewasnya Utsman bin Abi Nus'ah dan nasib puterinya yang jelita, Minin, mengejutkan Duke Octania. Dia sedar bahwa gendang perang telah ditabuh. Cepat atau lambat singa Islam, Abdurrahman Al-Ghafiqi akan menyerbu saja, tak peduli siang atau malam.
Kaisar Duke Octania segera mempersiapkan diri untuk mempertahankan setiap jengkal wilayahnya. Hanya saja bayang-bayang buruk selalu menghantuinya. Dia khuatir akan menjadi tawanan kaum muslimin seperti puterinya yang kini dikirim ke Syam. Dia takut kepalanya akan dipenggal kemudian ditaruh di atas talam dan diarak keliling kota seperti Loderik, raja Andalusia dahulu.
Dugaan Duke Octania tepat, tiba-tiba Abdurrahman Al-Ghafiqi benar-benar datang bersama pasukan yang luar biasa besarnya, menyerbu dari Spanyol utara bagai gelombang pasang dan turun ke wilayah Prancis selatan dari pegunungan Pyerenees laksana air bah. Prajuritnya mencapai 111 ribu orang dan setiap batalionnya didampingi oleh prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh tinggi besar.
Prajurit Islam masuk melalui kota Arles yang terletak di tepi sungai Rhone. Pertimbangannya adalah kerana kota ini terikat perjanjian damai dengan muslimin dan telah menyetujui kewajiban membayar jizyah. Namun ternyata, setelah gabenor As-Samah bin Malik Al-Khaulani gugur di Toulouse dan kekuatan muslimin menjadi lemah, mereka melanggar perjanjian dan menolak membayar jizyah.
Kedatangan Abdurrahman Al-Ghafiqi dan pasukannya di perbatasan Azil, disambut oleh pasukan besar yang disiapkan oleh Duke Octania untuk menghambat gerak maju pasukan Islam. Dua kekuatan berhadapan. Perang besar tak terelak lagi.
Pasukan pertama yang dikerahkan Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah pasukan khusus yang lebih mencintai mati daripada kecintaan musuh terhadap kehidupan. Mereka berhasil menggoyahkan dan memporak-perandakan barisan musuh. Pertempuran terus bergolak ke dalam kota. Pedang-pedang berlaga kiri-kanan. Pasukan Islam mendapatkan hasil di luar perhitungan.
Namun sayang, Duke Octania berhasil meloloskan diri dari medan beserta sisa-sisa pasukannya. Sehingga dia masih menyimpan kekuatan bersiap-siap pertempuran selanjutnya, sebab dia sedar bahwa pertempuran di Arles baru awal dari suatu perang yang panjang.
Bersama pasukannya, Abdurrahman Al-Ghafiqi menyeberangi sungai Garonne. Kemenangan demi kemenangan mereka raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui pasukannya, seperti daun-daun yang berguguran diterpa angin.
Duke Octania berusaha membendung pasukan Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu pertempuran besar. Namun kali ini pun pasukan Islam mampu mengatasinya. Duke Octania kembali lolos meninggalkan pasukannya yang kucar-kacir. Banyak yang gugur, tidak sedikit yang tertawan dan ada pula yang lari dari medan perang.
Target serangan berikutnya adalah Bordeaux, kota terbesar di Prancis pada waktu itu sekaligus merupakan ibukota Octania. Perang untuk memerebut Bordeaux tak kalah serunya dengan peperangan yang telah lalu. Sistem pertahanannya tentu lebih kokoh. Tapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini dapat direbut oleh pasukan Islam seperti kota-kota lainnya. Para panglima musuh gugur sebagaimana teman-teman yang telah mandahului mereka.
Banyak sekali harta rampasan yang diperoleh dalam perang ini. Tapi yang lebih penting adalah jatuhnya Bordoeaux merupakan kunci pembuka kota-kota penting di Prancis lainnya, seperti Lyon, Besancon dan Sens sehingga posisi pasukan Islam saat itu tinggal seratus batu saja dari Prancis.
Dunia Eropah tersentak mendapati bahwa Prancis Selatan telah takluk di tangan Abdurrahman Al-Ghafiqi dalam waktu beberapa bulan saja. Maka dunia Barat terbuka akan bahaya besar yang menghadang mereka.
Bila tak mampu membendung dengan pedang, hendaknya menahan dengan dadanya. Bila senjata habis hendaknya jalanan ditutup dengan tubuh mereka. Eropa bangkit menyambut seruan itu. Orang-orang berkumpul dari dari segala penjuru dengan membawa apa saja yang dapat digunakan, batu-batu, kayu, duri dan pedang. Mereka bersatu padu di bawah komanda Karel Martel.
Dalam waktu yang bersamaan, pasukan muslim telah tiba di Tours, kota Prancis padat penduduknya dan menyimpan bangunan-bangunan tua yang indah. Kota ini bangga dengan gereja-gereja besarnya yang terindah di seluruh Eropah dan berisi penuh kekayaan yang tak ternilai harganya. Prajurit Islam siap berkorban nyawa untuk merebut kota ini. Dan benar, Tours jatuh di depan mata dan pendengaran Karel Martel.
Akhir bulan Sya'ban 114 H Abdurrahman Al-Ghafiqi bersama pasukannya yang gagah perkasa memasuki kota Poiters. Mereka disambut oleh pasukan besar Eropah yang dipimpin oleh Karel Martel. Perang dahsyat antara kedua pasukan itu tidak hanya tercatat dalam sejarah Islam dan Barat saja, melainkan juga dalam sejarah umat manusia. Pertempuran itu dikenal dengan nama Balath syuhada, kerana banyaknya prajurit Islam yang syahid.
Ketika pasukan Islam benar-benar dalam puncak kejayaan yang gemilang. Namun sayang, punggung-punggung mereka terlalu berat memikul hasil rampasan yang melimpah ruah. Abdurrahman Al-Ghafiqi menyaksikan itu dengan sedih dan khuatir. Beliau khuatir keadaan pasukan. Bagaimana boleh tenang sementara hati dan pikiran para prajuritnya mulai beralih kepada harta benda itu? Di saat-saat menentukan justru jiwa mereka terbagi, sebelah mata memandang musuh dan sebelah lagi melirik harta-harta rampasan.
Ingin sekali Abdurrahman Al-Ghafiqi menganjurkan pasukannya untuk melepaskan diri dari harta rampasan yang bertumpuk-tumpuk itu. Tapi mereka sangsi apakah mereka boleh menerima keputusan itu dengan senang hati. Maka tak ada jalan lain kecuali beliau harus mengumpulkan seluruh harta rampasan lalu diletakkan di belakang markas sebelum perang bergolak.
Dua pasukan yang sama besarnya mengambil posisi berhadapan. Beberapa hari suasana terasa tegang. Diam dan penuh selidik, seperti dua gunung besar. Masing-masing mengukur kekuatan lawan dan berpikir seribu kali untuk memilih saat yang tepat untuk menyerang.
Waktu demi waktu berlalu, Abdurrahman Al-Ghafiqi melihat semangat pasukannya mulai menyala.Maka beliau memutuskan agar pasukan Islam lebih dahulu menyerang.
Abdurrahman Al-Ghafiqi mulai menembusi pertahanan Barat dengan pasukannya laksana singa yang menerjang dengan ganas. Pihak Barat bertahan seperti benteng yang kukuh. Pertempuran bergelok sehari penuh dan belum terlihat tanda-tanda kemenangan pada salah satu pihak. Seandainya tak terhalang oleh gelapnya malam, nescaya mereka tak akan berhenti bertempur.
Memasuki hari kedua, pertempuran kembali berkobar. Pasukan Islam menyerang dengan gagah berani dan tekad yang kuat, namun pertahanan Barat belum pula tergugat.
Perang berlangsung hingga tujuh hari berturut-turut dengan dahsyat. Pada hari kedelapan, sedikit demi sedikit barisan musuh mulai terkoyak. Harapan menangpun mulai terbayang. Laksana pancaran cahaya fajar di pagi hari. Namun dalam waktu yang sama, sekelompok prajurit Barat menyerang tempat penyimpanan harta rampasan dan menguasai hampir seluruhnya dengan mudah. Melihat hal itu, pasukan Islam mulai goyah. Sebagian besar dari mereka mundur ke belakang untuk menyelamatkan harta rampasan tersebut hingga merosakkan pertahanan barisan depan.
Dengan gigih panglima besar Abdurrahman Al-Ghafiqi berusaha mencegah para prajuritnya surut ke belakang, sambil terus menahan arus serangan dari depan dan menutupi celah-celah yang lemah. Dia bergerak cepat kesana kemari dengan kudanya yang perkasa. Di saat itulah sebatang panah mengenai tubuhnya sehingga dia terjatuh dari kuda seperti seekor helang yang terjatuh dari puncak gunung. Maka terwujudlah syahid di medan perang yang didambakannya.
Akan halnya dengan pasukan Islam, melihat panglimanya gugur, mereka semakin berantakan, sedangkan musuh kian bersemangat mara ke depan. Tak ada yang mampu menghentikan keganasan mereka selain malam yang mulai merayap.
Pagi harinya Karel Martel mendapati pasukan Islam sudah mundur dari medan perang Poiters. Namun dia tidak berani mengejar. Padahal seandainya dia mengejarnya pastilah dia akan berhasil menghancurkan pasukan muslimin. Dia mengira bahwa gerakan mundur pasukan Islam disengaja untuk memancing mereka ke luar medan terbuka. Ia mengira itu merupakan strategi baru muslimin yang direncanakan malam sebelumnya. Maka Karel Martel memilih untuk tetap di tempat dan merasa cukup dengan membendung kekuatan yang membahayakan itu, lalu menikmati kemenangan yang diraihnya.
Balath Syuhada menjadi peristiwa dalam sejarah. Di hari itu kaum muslimin telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang terbuka lebar, bahkan kehilangan seorang pemimpin besar dan pahlawan yang agung bernama Abdurrahman Al-Ghafiqi. Peristiwa itu laksana ulangan tragedi Uhud yang memilukan.
Begitulah, semuanya telah menjadi sunnatullah terhadap hamba-hamba-Nya, tak ada yang kuasa merubah atau menggantinya.
Kabar kekalahan di Balath Syuhada menjadi tamparan yang menggoncangkan kaum muslimin di segenap pelosok. Duka dan pilu melanda setiap desa dan kota, memasuki setiap rumah Islam. Luka itu hingga kini masih terasa pedihnya, dan akan tetap diingat selagi masih ada seorang muslim yang ada di permukaan bumi ini. Tapi jangan Anda sangka tragedi itu hanya menyedihkan kaum muslimin saja. Orang-orang Barat yang berakal sehat pun merasakan demikian. Bagi mereka, kemenangan nenek moyang mereka atas kaum muslimin di Poitiers merupakan musibah besar bagi umat manusia, khususnya merugikan Eropa dalam mencapai kemajuan.
No comments:
Post a Comment