Ilyas putera Salamah bin Al-Akwa, menyimpulkan keutamaan bapaknya dalam suatu kalimat singkat.
"Bapakku tak pernah berdusta!" ujarnya singkat.
Memang, untuk mendapatkan kedudukan tinggi di antara orang-orang saleh dan budiman, cukuplah bagi seseorang memiliki sifat-sifat ini. Dan Salamah bin Al-Akwa telah memilikinya, suatu hal yang memang wajar baginya.
Salamah adalah salah seorang pemanah bangsa Arab yang terkenal, juga terbilang tokoh yang berani, dermawan dan gemar berbuat kebajikan. Dan ketika ia menyerahkan dirinya menganut agama Islam, diserahkannya secara benar dan sepenuh hati. Ia termasuk pula salah satu tokoh Baiatur Ridwan.
Pada tahun 6 H, Rasulullah SAW bersama para sahabat berangkat dari Madinah dengan maksud hendak berziarah ke Ka’bah, tetapi dihalangi oleh orang-orang Quraisy. Maka Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan kepada mereka bahwa tujuan kunjungannya hanyalah untuk berziarah dan sekali-kali bukan untuk berperang.
Sementara menunggu kembalinya Utsman, tersiar berita bahwa ia telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Rasulullah lalu duduk di bawah naungan sebatang pohon menerima baiat sehidup semati dari sahabatnya seorang demi seorang.
"Aku mengangkat baiat kepada Rasulullah di bawah pohon, dengan pernyataan menyerahkan jiwa ragaku untuk Islam, lalu aku mundur dari tempat itu," tutur Salamah. "Tatkala mereka tidak banyak lagi, Rasulullah bertanya, 'Hai Salamah, kenapa kamu tidak ikut baiat?"
"Aku telah baiat, wahai Rasulullah," jawabku.
"Ulanglah kembali!" titah Nabi.
"Maka ku ucapkanlah baiat itu kembali."
Dan Salamah telah memenuhi isi baiat itu sebaik-baiknya. Bahkan sebelum diikrarkannya, yakni semenjak mengucapkan "Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah", maksud baiat itu telah dilaksanakan.
"Aku berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, dan bersama Zaid bin Haritsah sebanyak sembilan kali!" kata Salamah.
Salamah terkenal sebagai tokoh paling mahir dalam peperangan jalan kaki, dan dalam memanah serta melemparkan tombak dan lembing. Siasat yang dijalankannya serupa dengan perang gerila yang kita jumpai sekarang ini. Jika musuh datang menyerang, ia menarik pasukannya mundur ke belakang. Tetapi bila mereka kembali untuk berhenti atau istirahat, maka diserangnya mereka tanpa ampun.
Dengan siasat seperti ini ia mampu seorang diri menghalau tentera yang menyerang luar Kota Madinah di bawah pimpinan Uyainah bin Hishan Al-Fizari dalam suatu peperangan yang disebut Perang Dzi Qarad. Ia pergi menyerang mereka seorang diri, lalu memerangi dan menghalau mereka dari Madinah, hingga akhirnya datanglah Nabi membawa bala bantuan yang terdiri dari sahabat-sahabatnya.
Pada hari itulah Rasulullah menyatakan kepada para sahabat, "Tokoh pasukan jalan kaki kita yang terbaik ialah Salamah bin Al-Akwa!"
Salamah juga tidak pernah merasa kesal dan kecewa kecuali ketika saudaranya yang bernama Amir bin Al-Akwa tewas di Perang Khaibar.
Dalam peperangan itu Amir memukulkan pedangnya kepada salah seorang musyrik. Akan tetapi rupanya pedang yang digenggamnya hulunya itu melantur dan terbalik hingga menghunjam pada ubun-ubunnya yang menyebabkan kematiannya.
Beberapa orang berkata, "Kasihan Amir, ia terhalang mendapatkan mati syahid."
Maka pada saat itu, yang hanya sekali itulah dan tidak lebih, Salamah merasa amat kecewa sekali. Ia menyangka sebagaimana sangkaan para sahabat bahwa saudaranya itu tidak mendapatkan pahala berjihad dan sebutan mati syahid, disebabkan ia telah bunuh diri tanpa sengaja.
Namun, Rasulullah yang pengasih itu segera mendudukkan perkara pada tempat yang sebenarnya, yakni ketika Salamah datang bertanya, "Wahai Rasulullah, betulkah pahala Amir itu gugur?"
Maka jawab Rasulullah SAW, "Ia gugur bagai pejuang. Bahkan mendapat dua macam pahala. Dan sekarang ia sedang berenang di sungai-sungai surga."
Salamah juga terkenal dengan kedermawanannya, hingga ia akan mengabulkan permintaan orang termasuk jiwanya apapila permintaan itu atas nama Allah.
Hal ini rupanya diketahui oleh orang-orang. Maka jika seseorang ingin tuntutannya berhasil, ia akan berkata kepadanya, "Ku minta kepada anda atas nama Allah."
Mengenai hal ini, Salamah pernah berkata, "Jika bukan atas nama Allah, atas nama siapa lagi kita akan memberi?"
Sewaktu Utsman RA dibunuh orang, pejuang yang perkasa ini merasa bahwa api fitnah telah menyuluh kaum Muslimin. Ia seorang yang telah menghabiskan usianya selama ini berjuang bahu-membahu dengan saudara seagamanya, tak sudi berperang menghadapi saudara sesamanya.
Benar, seorang tokoh yang telah mendapat pujian dari Rasulullah SAW tentang keahliannya dalam memerangi orang-orang musyrik, tidaklah pada tempatnya menggunakan keahliannya itu dalam memerangi atau membunuh orang-orang mukmin. Itulah sebabnya ia mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan Madinah berangkat menuju Rabdzah, iaitu kampung yang dipilih oleh Abu Dzar dulu sebagai tempat hijrah dan pemukiman barunya.
Maka di Rabdzah ini Salamah melanjutkan sisa hidupnya. Pada suatu hari di tahun 74 H, hatinya merasa rindu berkunjung ke Madinah. Maka berangkatlah ia untuk memenuhi kerinduannya itu. Ia tinggal di Madinah selama satu dua hari. Dan pada hari ketiga ia pun wafat.
Demikianlah, seolah-olah tanahnya yang tercinta itu memanggil putranya ini untuk merangkul ke dalam pelukannya dan memberikan ruang baginya di lingkungan sahabat-sahabatnya yang memperoleh berkah bersama para syuhada yang saleh.
"Bapakku tak pernah berdusta!" ujarnya singkat.
Memang, untuk mendapatkan kedudukan tinggi di antara orang-orang saleh dan budiman, cukuplah bagi seseorang memiliki sifat-sifat ini. Dan Salamah bin Al-Akwa telah memilikinya, suatu hal yang memang wajar baginya.
Salamah adalah salah seorang pemanah bangsa Arab yang terkenal, juga terbilang tokoh yang berani, dermawan dan gemar berbuat kebajikan. Dan ketika ia menyerahkan dirinya menganut agama Islam, diserahkannya secara benar dan sepenuh hati. Ia termasuk pula salah satu tokoh Baiatur Ridwan.
Pada tahun 6 H, Rasulullah SAW bersama para sahabat berangkat dari Madinah dengan maksud hendak berziarah ke Ka’bah, tetapi dihalangi oleh orang-orang Quraisy. Maka Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan kepada mereka bahwa tujuan kunjungannya hanyalah untuk berziarah dan sekali-kali bukan untuk berperang.
Sementara menunggu kembalinya Utsman, tersiar berita bahwa ia telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Rasulullah lalu duduk di bawah naungan sebatang pohon menerima baiat sehidup semati dari sahabatnya seorang demi seorang.
"Aku mengangkat baiat kepada Rasulullah di bawah pohon, dengan pernyataan menyerahkan jiwa ragaku untuk Islam, lalu aku mundur dari tempat itu," tutur Salamah. "Tatkala mereka tidak banyak lagi, Rasulullah bertanya, 'Hai Salamah, kenapa kamu tidak ikut baiat?"
"Aku telah baiat, wahai Rasulullah," jawabku.
"Ulanglah kembali!" titah Nabi.
"Maka ku ucapkanlah baiat itu kembali."
Dan Salamah telah memenuhi isi baiat itu sebaik-baiknya. Bahkan sebelum diikrarkannya, yakni semenjak mengucapkan "Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah", maksud baiat itu telah dilaksanakan.
"Aku berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, dan bersama Zaid bin Haritsah sebanyak sembilan kali!" kata Salamah.
Salamah terkenal sebagai tokoh paling mahir dalam peperangan jalan kaki, dan dalam memanah serta melemparkan tombak dan lembing. Siasat yang dijalankannya serupa dengan perang gerila yang kita jumpai sekarang ini. Jika musuh datang menyerang, ia menarik pasukannya mundur ke belakang. Tetapi bila mereka kembali untuk berhenti atau istirahat, maka diserangnya mereka tanpa ampun.
Dengan siasat seperti ini ia mampu seorang diri menghalau tentera yang menyerang luar Kota Madinah di bawah pimpinan Uyainah bin Hishan Al-Fizari dalam suatu peperangan yang disebut Perang Dzi Qarad. Ia pergi menyerang mereka seorang diri, lalu memerangi dan menghalau mereka dari Madinah, hingga akhirnya datanglah Nabi membawa bala bantuan yang terdiri dari sahabat-sahabatnya.
Pada hari itulah Rasulullah menyatakan kepada para sahabat, "Tokoh pasukan jalan kaki kita yang terbaik ialah Salamah bin Al-Akwa!"
Salamah juga tidak pernah merasa kesal dan kecewa kecuali ketika saudaranya yang bernama Amir bin Al-Akwa tewas di Perang Khaibar.
Dalam peperangan itu Amir memukulkan pedangnya kepada salah seorang musyrik. Akan tetapi rupanya pedang yang digenggamnya hulunya itu melantur dan terbalik hingga menghunjam pada ubun-ubunnya yang menyebabkan kematiannya.
Beberapa orang berkata, "Kasihan Amir, ia terhalang mendapatkan mati syahid."
Maka pada saat itu, yang hanya sekali itulah dan tidak lebih, Salamah merasa amat kecewa sekali. Ia menyangka sebagaimana sangkaan para sahabat bahwa saudaranya itu tidak mendapatkan pahala berjihad dan sebutan mati syahid, disebabkan ia telah bunuh diri tanpa sengaja.
Namun, Rasulullah yang pengasih itu segera mendudukkan perkara pada tempat yang sebenarnya, yakni ketika Salamah datang bertanya, "Wahai Rasulullah, betulkah pahala Amir itu gugur?"
Maka jawab Rasulullah SAW, "Ia gugur bagai pejuang. Bahkan mendapat dua macam pahala. Dan sekarang ia sedang berenang di sungai-sungai surga."
Salamah juga terkenal dengan kedermawanannya, hingga ia akan mengabulkan permintaan orang termasuk jiwanya apapila permintaan itu atas nama Allah.
Hal ini rupanya diketahui oleh orang-orang. Maka jika seseorang ingin tuntutannya berhasil, ia akan berkata kepadanya, "Ku minta kepada anda atas nama Allah."
Mengenai hal ini, Salamah pernah berkata, "Jika bukan atas nama Allah, atas nama siapa lagi kita akan memberi?"
Sewaktu Utsman RA dibunuh orang, pejuang yang perkasa ini merasa bahwa api fitnah telah menyuluh kaum Muslimin. Ia seorang yang telah menghabiskan usianya selama ini berjuang bahu-membahu dengan saudara seagamanya, tak sudi berperang menghadapi saudara sesamanya.
Benar, seorang tokoh yang telah mendapat pujian dari Rasulullah SAW tentang keahliannya dalam memerangi orang-orang musyrik, tidaklah pada tempatnya menggunakan keahliannya itu dalam memerangi atau membunuh orang-orang mukmin. Itulah sebabnya ia mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan Madinah berangkat menuju Rabdzah, iaitu kampung yang dipilih oleh Abu Dzar dulu sebagai tempat hijrah dan pemukiman barunya.
Maka di Rabdzah ini Salamah melanjutkan sisa hidupnya. Pada suatu hari di tahun 74 H, hatinya merasa rindu berkunjung ke Madinah. Maka berangkatlah ia untuk memenuhi kerinduannya itu. Ia tinggal di Madinah selama satu dua hari. Dan pada hari ketiga ia pun wafat.
Demikianlah, seolah-olah tanahnya yang tercinta itu memanggil putranya ini untuk merangkul ke dalam pelukannya dan memberikan ruang baginya di lingkungan sahabat-sahabatnya yang memperoleh berkah bersama para syuhada yang saleh.
No comments:
Post a Comment